Agustus

Agustus datang dengan sangat cepat. Kesibukan demi kesibukan datang menghampiri, membuatku tidak sempat lagi melirik blog ini. Sungguh sangat menyedihkan tentu saja, mengingat dulunya saya sangat bersemangat untuk bercerita. Rasanya saat ini, memikirkan apa yang mau kutulis saja sudah tidak bisa.

Rasanya begitu banyak cerita, begitu banyak hal yang terjadi dan lewat begitu saja tanpa kuabadikan dalam bentuk cerita di blog ini, padahal harapanku blog ini bisa menjadi tempat penyimpanan kenangan untukku kelak di saat usia sudah mulai menua dan ingatan sudah mulai lemah. Sayangnya kehidupan menerpa terlalu keras hingga saya pun menjadi tidak punya waktu dan semangat untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan.

Apa yang terjadi setelah tulisan terakhirku?

Aku sempat ke Jakarta di awal tahun untuk memeriksakan kaki Nico dan kemudian lanjut di bulan April aku ke Makassar untuk keperluan terapi Nico. Sekarang kondisi kakinya Nico sudah mendingan tapi belum normal 100%. Untuk sekarang Nico masih terapi mandiri dan ikut papanya ke gym untuk menunjang perbaikan posisi kakinya.

Kemudian Ryan, akhirnya masuk sekolah online juga, mengikuti jejak kokonya. Ryan terlihat sangat senang dan bersemangat untuk ikut sekolah online-nya tapi saya, sebagai mama/ibu guru terus terang cukup stress menghadapi 2 anak sekaligus sekolah online. Ini salah satu hal yang membuatku tidak bersemangat lagi untuk menulis blog. Karena biasanya di akhir hari saya sibuk menyiapkan tugas-tugas latihan untuk Nico dan mempelajari praktek-prakter untuk Ryan.

Selain itu, aku juga mulai ikut mengurus keuangan toko, bukannya dulu-dulu aku tidak ikut, tetapi sebelum ini Ridson lebih dominan mengurus keuangan dibanding diriku. Tetapi beberapa waktu ini Ridson meminta bantuanku untuk ikut lebih fokus mengurus keuangan supaya dia lebih bisa mengurus ke bagian pembelian saja dan tidak terlalu pusing dengan uang bulanan dan uang-uang lainnya. Berhubung anak-anak juga sudah besar maka aku menyanggupi untuk mengatur keuangan toko lebih fokus lagi.

Saya sangat-sangat berharap blog ini bisa aktif kembali. Karena bagaimana pun juga dengan blog ini saya bisa banyak bertemu dengan orang-orang baru, yang akhirnya malah menjadi teman. Saya juga sangat berharap blog ini bisa menjadi kenangan untukku dan untuk anak-anakku kelak, walaupun mungkin di saat aku sudah tidak ada di dunia lagi.

Jadi…. doakan saja yah semoga saya bisa menjadi semakin rajin menulis dan selalu bersemangat untuk menuangkan cerita-cerita dan pendapat-pendapatku di blog ini.

See U Next Time

Cheers!

2022 – 2023

Rasanya baru kemarin aku bertekad mau aktif nulis lagi… tau-tau tulisan terakhir udah 6 bulan yang lalu… maafkan diriku yang kurang disiplin.

Jadi, marilah kita memulai tahun 2023 dengan mengabarkan apa yang terjadi selama 6 bulan ini…hingga awal tahun ini…

1. Balada sekolah onsite dan online

Seperti yang sudah kuceritakan di blog sebelumnya, Nico memulai kelas 1 – nya dengan pembelajaran daring sedangkan Ryan aku masukkan ke sekolah umum di Biak. Alasannya sih karena Ryan rasanya masih butuh sosialisasi. ternyata, setelah beberapa bulan bersekolah di sekolah umum, ternyata Ryan mulai merasa “iri” kepada Nico yang gak harus bangun pagi buat ke sekolah, alhasil si Ryan 2 bulan terakhir ini suka protes kalau bangun pagi dan mulai terlihat malas-malasan ke sekolah.

Di lain pihak, si Nico lumayan oke di sekolah daringnya, nilainya bagus dan anaknya juga sangat bersemangat. Kekurangannya mungkin hanya di sisi bahasa yang memang masih jadi kekurangan Nico yang harus ditingkatkan lagi. Tetapi karena hal ini, membuatku mempertimbangkan apa Ryan kudaftarkan saja ke sekolah daring untuk TK B? tapi kok rasanya rugi ya? Udah bayar uang pangkal untuk TK soalnya…

2. Balada Skincare

Kalau yang ini, tentu saja tentang diriku. Karena di rumah ini, yang paling ribut tentang perawatan wajah hanya diriku seorang. Di tahun ini, rasanya aku semakin aware dengan wajahku yang sudah mulai tidak terurus. Sepanjang hidupku, sepertinya saat-saat yang kurasa paling serius merawat wajah hanyalah ketika saya mau menikah. Tentu saja, karena ingin terlihat cetar di hari pernikahanku. Setelah itu, rasanya perawatan wajahku cukup on-off. Serajin diriku aja lah… dan parahnya daku tak pernah memakai sunscreen. Imagine that

Hasilnya baru terlihat sekarang ini, ketika usia sudah mau memasuki 40, flek hitam tersebar di mana-mana dan garis-garis kerutan mulai nampak…belum lagi dengan pori-pori yang cukup besar. Apalagi tinggal di tempat yang memiliki kadar UV yang tinggi dan tingkat kelembaban yang tinggi… sangat tidak membantu. Cuaca di sini pun cukup berubah-ubah, menyebabkan kulitku yang dulu-dulunya sepertinya normal-normal saja… sekarang menjadi sensitif. Banyak produk yang dulunya cocok-cocok saja sekarang tidak bisa diterima oleh kulitku.

Setelah mencoba banyak hal, rasa-rasanya sih aku mulai mengerti wajahku… apa yang dia butuhkan… dan apa yang mampu kuberikan. Karena dilema tinggal di kota nun jauh di timur Indonesia membuatku lebih kesulitan mengakses beberapa produk. Tetapi pastinya, sekarang aku tak bisa lepas dari sunscreen. Aku sangat-sangat menyadari manfaat sunscreen sekarang terlebih karena saya melihat perubahannya setelah rajin memakai sunscreen.

3. Balada Terapi

Aku lupa sudah pernah menceritakannya atau tidak, tetapi sudah semenjak lama kaki Nico ada masalah. Terakhir kubawa ke dokter ketika dia berumur 2 tahun dan menurut dokter ada masalah di bagian pinggul Nico yang berhubungan dengan tulang pahanya. Semacam terputar gitu dan dia sarankan untuk menunggu hingga Nico berumur 6-7 tahun dan apabila keadaannya masih sama maka kemungkinan harus dipakaikan sepatu khusus. Nah sekarang Nico sudah berumur 7 tahun dan kakinya masih gitu-gitu aja dan saya kembali memikirkan masalah terapi. Ada dilema mengenai terapinya mau langsung dilakukan di Makassar atau mau kubawa dulu ke Jakarta untuk konsultasi dengan dokter lain untuk mencari 2nd opinion. Sampai sekarang sih masih bingung aku tuh…

4. Balada Pulang Kampung

Ini juga salah satu yang sedang kami pertimbangkan. Karena sudah hampir 2 tahun tidak pulang kampung dan banyak juga hal-hal yang akan terjadi di tahun 2023 ini yang akan membuatku pulang kampung beberapa kali. Sebenarnya inti permasalahannya sih ya di ongkos. Rasanya tahun ini kami harus berusaha lebih ekstra lagi supaya bisa bolak balik beberapa kali.

Yah, demikianlah recap semester 2 tahun 2022 yang ternyata ya gitu-gitu aja. Gara-gara sekolah online Nico juga saya jadinya gak terlalu bisa aktif nulis blog karena semua fokus dan energi sudah terpusat pada sekolah Nico. Karena sekolah ginian nih membutuhkan orang tua yang aktif karena anak-anak akan belajar mandiri di rumah yang tentu saja dibimbing oleh orang tua. Yaaa… ala-ala semi homeschooling lah gitu.

Doakan saya aja lah ya, di tahun 2023 ini bisa lebih rajin nulis blog, karena sebenarnya banyak banget yang mau kuceritakan tetapi karena udah lewat mood saya juga udah gak ada… mau nulis juga udah hambar. Semoga di tahun ini bisa lebih semangat lagi…

Ganbatte!!!

Happy New Year!!!

Mendengarkan Pendapat Anak

Seberapa sering kita mendengarkan pendapat anak?

Jujur saja, baru setahun terakhir ini saya lebih mendengarkan pendapat anak-anak saya… Sebelum-sebelumnya saya masih menganggap mereka terlalu kecil untuk memberikan pendapat. Apalagi jika pendapatnya itu berseberangan dengan keinginanku.

Tetapi kemudian saya mulai banyak membaca dan mempelajari tentang otonomi anak. Dimana salah satu hal yang dibahas adalah anak pun perlu didengarkan pendapat dan keinginannya dengan tujuan agar anak lebih bisa menyuarakan pendapatnya dan tidak hanya menjadi seperti robot dalam kehidupan sehari-hari. Yah… Memang, hal-hal ini sangat mudah diucapkan tetapi sulit dilakukan. Entah sudah berapa kali saya melanggar niat saya sendiri… Kadang ketika saya sudah malas atau sudah tidak ingin berdebat saya selalu mengeluarkan kata-kata sakral…. “Ikut aja mama, mama tau yang terbaik untuk kamu”. Sungguh kata-kata yang sangat manis tapi beracun.

Saya itu adalah orang yang sangat ingin anak saya bisa lebih mandiri dan berani menyuarakan pendapat… Tetapi di sisi lain ada sifat egois dan keras kepala juga yang masih menguasai. Misalkan kami sudah menyusun jadwal belajar yang sudah disepakati, tetapi karena saya lelah atau sedang malas saja terkadang saya ingin menunda atau mengubah jadwal yang ada… Kemudian menimbulkan protes dari Nico… Hal itu bisa membuat saya tidak senang dan mengeluarkan kata-kata sakral tadi…

Sungguh benar perkataan bahwa mendidik anak adalah pelajaran seumur hidup bagi orang tuanya…

Tetapi belakangan ini, apalagi semenjak Nico sudah mendaftar masuk ke dalam sekolah daring… Saya mulai memperbaiki diri. Karena ketika sudah mulai belajar di sekolah daring itu artinya saya selaku orang tua bertanggung jawab menjadi ‘sekolah’ bagi anak saya. Jadwal yang sudah ditetapkan harus dijalankan oleh Nico sebagai bentuk disiplin dan tanggung jawab atas hal yang dia atur sendiri dan disepakati bersama. Hal-hal kecil seperti menu makanan pun sudah saya terapkan. Dahulu, saya hanya tau menyiapkan makanan di atas meja, suka atau tidak dihabiskan saja. Saya hanya mendengar keinginan Nico jika saya rajin saja, jika tidak saya akan menggunakan senjata kata-kata sakral tersebut. Jika Nico kemudian tidak selera makan saya akan marah dan menganggap Nico tidak menghargai makanan. Sekarang kami sudah bisa berdiskusi mengenai makanan apa yang diinginkan dan kesanggupanku untuk memasaknya.

Sekarang ini, saya sudah mulai melihat perkembangan Nico dan Ryan dalam mengemukakan pendapat. Ryan yang dulunya hanya diam dan cuek saja, mulai bisa mengemukakan hal yang dia suka dan tidak dia sukai. Nico pun demikian dan lebih berani dan percaya diri karena tau bahwa saya selalu siap berdiskusi dengannya atas keluhannya itu.

Harapan saya hanyalah semoga saya selalu bisa menerapkan hal ini dalam mendidik anak… Karena sebenarnya hal ini cukup sulit bagiku yang agak emosian dan kurang disiplin ini… 🤭

Keputusan Penting

Setiap dari kita manusia, tentu saja pernah mengambil keputusan penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang biasanya membuat kita takut, ragu dan menjadi banyak pikiran. Apalagi misalkan kita mengambil suatu keputusan yang bukan hanya menyangkut diri sendiri tetapi juga keluarga kita.

Kemarin, saya barusan dihadapkan dengan hal tersebut. Saya baru saja memutuskan untuk mengikutkan Nico di sekolah online untuk tingkat SD. Keputusan yang cukup berat untuk dipikirkan menurutku karena bukan hanya menyangkut diriku tetapi masa depan anakku tentu saja. Hal ini membuatku sampai saat ini pun masih mempertanyakan apakah keputusan yang kuambil sudah benar atau tidak. Walaupun sebenarnya di lubuk hatiku yang paling dalam aku yakin sudah benar. Tetapi keraguan-keraguan itu kadang timbul tenggelam.

Kalau ditanyakan alasan sebenarnya cuma bersifat personal… Sebenarnya Nico pernah menjalani TK di sekolah berbasis online yang bernama Sekolah Murid Merdeka… Kemudian karena Nico selalu meributi diriku tentang iri melihat anak-anak memakai baju sekolah dan tas sekolah… Akhirnya aku memasukkan Nico ke sekolah Katolik yang ada di Biak. Sebenarnya sekolahnya lumayan lah untuk ukuran sini, tetapi sesuatu dan lain hal membuatku ga puas. Karena saya merasa Nico mendapatkan yang lebih ketika bersekolah di sekolah daringnya… Dan pikiran itu selalu bersemayam di otakku… Terkadang bahkan ada penyesalan mengapa menghentikan sekolah daringnya… Seharusnya biar saja dia menjalani keduanya bersama-sama…

Kemudian waktu berlalu hingga sudah memasuki bulan Mei… Sebentar lagi Nico akan masuk SD… Dan pikiran itupun muncul kembali. Karena sudah SD artinya saya harus mempertimbangkan lebih berhati-hati. Hal-hal seperti kualitas pendidikan, kualitas sekolah, kompetensi guru dan basis pendidikan sekolah adalah yang utama dalam pertimbanganku. Adapun hal lain seperti dari sisi transportasi, kemudahan dalam belajar dan kualitas pertemanan juga tidak luput dari pertimbangan.

Kemudian, terjadilah percakapan Ridson dengan tetanggaku mengenai anaknya yang rencana mau dipindahkan sekolah ke Makassar karena ternyata anaknya mengalami pemukulan di sekolah… Kemudian dari cerita itu bergulir lah cerita-cerita mengenai anak-anak nakal di sekolah… Dan puncaknya yang membuat akhirnya kami benar-benar mengambil keputusan adalah karena guru-guru yang terkesan lepas tangan (atau takut) dan tidak bisa menyelesaikan masalah tersebut… Dan ada juga hal-hal lain yang bersangkutan yang tidak bisa saya ceritakan di sini. Dan ini terjadi di sekolah yang saya rasa paling cocok untuk Nico bersekolah.

Sebenarnya kalau urusan anak nakal sih ya umum ya, sepertinya kalau mau berharap semua anak sekolah itu baik-baik saja kesannya cukup muluk-muluk. Tetapi kompetensi guru dalam menghadap hal tersebut juga cukup menjadi bahan pertimbangan bagiku. Mungkin saya terkesan terlalu melindungi Nico, tetapi karena dulu Nico mengalami keterlambatan dalam berbicara akhirnya dia sekarang menjadi sedikit gagap dan itu cukup membuatnya kadang malu dan malas untuk berbicara. Karena hal itu, menurutku adalah kurang tepat memasukkan Nico ke sekolah yang kurang kompeten dalam menghadapi pengrisakan. Tetapi sekali lagi ya, ini hanyalah dari sudut pandangku saja… Masih banyak orang yang kukenal memasukkan anaknya di sekolah tersebut dan mereka baik-baik saja. Walaupun ada kekurangan pun mereka menutup mata saja dan merasa kita yang terlalu berlebihan melihat hal tersebut. Saya memaklumi aja sih… Setiap orang memang punya pandangan yang berbeda.

Setelah pembicaraan itu, akhirnya kami memutuskan untuk menyekolahkan Nico di sekolah daring yang dulu pernah dia ikuti, yaitu Sekolah Murid Merdeka. Walaupun saya yakin saya akan kewalahan dan mungkin bakalan pusing dalam mengajar Nico tetapi menurutku keadaannya akan sama saja jika Nico bersekolah di sekolah tatap muka biasa. Jadi saya rasa itu adalah hal yang memang tidak bisa dihindari… Kemudian ketika berpikir mengenai masalah betapa jauhnya 6 tahun dalam membimbing anak bersekolah daring, tetapi saya sekarang berpikir, bahwa segala sesuatu harus dijalani selangkah demi selangkah… Ga usah terlalu mencemaskan hal-hal yang terlalu jauh ke depan… Jalani aja yang ada di depan mata dan percayalah segalanya akan indah pada waktunya….

Yang pasti hal positif Nico bersekolah daring adalah tidak bangun pagi, tidak pusing dengan seragam dan tas sekolah, ga bakalan ada drama ketinggalan buku pelajaran daaaannnn yang utama….. Kita bisa jalan-jalan diluar musim liburan karena Nico bisa bersekolah kapanpun dan dimanapun juga….. 😁

Dan untuk Ryan… Masih dalam pertimbangan…. Soalnya kasusnya lebih pelik 😅

Tugas sekolah Nico, memakai pakaian profesi… Pas udah dibeli bajunya ternyata pas benerrrrr….. Ya udahlah cuma dipake sekali….

Tentang Kematian

Beberapa waktu ini, keluargaku sedang dirundung kesedihan. Salah satu tanteku sementara berjuang melawan kanker…

Sebelum ini, sebenarnya dia sudah berjuang melawan kanker payudaranya dan sudah di operasi, menjalani kemotherapy dan dinyatakan sudah bersih. Rasanya saat itu sudah tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi…

Namun ternyata kami salah… setelah beberapa waktu mengalami sesak nafas dan kesakitan, beberapa hari lalu tanteku masuk ICU dan dinyatakan bahwa kankernya sudah mengalami metastasis ke paru-paru dan tulang.

Hal itu membuatku banyak berpikir tentang kematian kembali.

Hidup itu benar-benar terasa singkat… seperti baru kemarin aku pamitan kepadanya ketika akan ke Biak… sepertinya baru kemarin ngobrol secara video call dengannya bercerita tentang operasi kakinya yang sangat menyakitkan… dan sekarang kami dihadapkan dengan keadaan seperti sekarang ini. Dimana kami hanya bisa menyaksikan dia berjuang bernafas, berjuang hidup di setiap tarikan nafasnya… berjuang melawan sakit di dadanya dan kesakitan karena kakinya yang seharusnya masih butuh operasi lagi…

Kemarin, mamaku bercerita bahwa tanteku sekarang sudah berada dalam kondisi tidak terlalu sadar karena pengaruh obat-obatan… mungkin obat untuk mengurangi kesakitannya… agar dia tidak terlalu menderita menghadapi penyakitnya ini. Kata mamaku dokter masih berusaha menguatkan mereka semua tetapi mamaku dan saudara-saudaranya sendiri merasa sudah pasrah dengan keadaan ini, mereka hanya berharap di hari terakhir tanteku tidak dia lewatkan dengan penderitaan… karena menurutnya hanya mujizat yang bisa menyembuhkan tanteku.

Dan ketika tulisan ini sementara kutulis, saya mendengar kabar bahwa tanteku sudah berpulang…

Sedih sekali berada di situasi seperti ini… benar-benar membuatku lebih menghargai hidup. Kehidupan benar-benar serapuh itu… dan kita yang sedang menjalaninya hanya bisa berusaha yang terbaik menjalani hidup kita.

Dan jika bisa meminta, tentu kita berharap meninggalkan dunia ini dengan mudah tanpa melalui penderitaan yang panjang dulu…

Tujuan Hidup

Beberapa hari lalu, aku seperti biasa ngobrol dengan salah seorang teman. Salah satu pembicaraan adalah mengenai tujuan hidup masing-masing. Menurut temanku ini, sekarang tujuan hidupnya berubah, dia secara penuh, 100%, mendedikasikan hidupnya untuk keluarga, terutama anak. Sedangkan aku sendiri merasa saya juga butuh ke-‘aku’-an dan merasa tak bisa 100% untuk anak. Intinya sih we agree to disagree.

Ya sebenarnya ga ada yang salah sih menurutku, tergantung kenyamanan masing-masing aja. Yang nyaman menurutku memang belum tentu nyaman untuk orang lain… Dan yang kita anggap ga bener dan egois pun sebenarnya punya alasan masing-masing. Jadi ya ujung-ujungnya emang tujuan hidup setiap orang itu beda-beda. Kalo sama juga ga asik ah… Yang bikin ga nyaman kalau kehidupan kita di hakimi sama orang-orang yang berbeda pandangan hidup seakan-akan jalan yang kita ambil itu egois dan jahat… Padahal kan ente yang jahat, jadi hakim…. Hakim roda mas…. 😂 Maap, OOT.

Kalo aku sendiri, sebenarnya tentu saja dengan punya anak tuh ga mungkin kita cuma memikirkan diri sendiri, pasti lah keadaan berubah 180 derajat. Yang dulunya kalo lapar ya udah apa aja diembat, sekarang lebih concern, kalo dulu juga kalo lagi males ngapa-ngapain ya udah cukup duduk manis setel film, selesai, kalo sekarang… Boro-boro nonton film mah… Males ato ngga ya anak-anak kudu diurusin. Aku sendiri pun sebenarnya awalnya tidak menyadari sejak kapan aku menjalani hidup segalanya untuk anak. Apalagi semenjak Nico ketahuan speech delayed dan ternyata Ryan juga mengikuti… Rasanya hectic banget di kepalaku. Tetapi ada suatu masa dalam hidupku, rasanya aku ingin slow down, take a step back. Tapi aku sendiri bingung sih, kenapa aku merasa seperti itu. Dan…. di suatu masa ketika aku dan suami lagi dalam masa-masa pusing sama kerjaan dan aku juga mulai senewen-senewen, kami pun bertengkar… Di saat itu, aku mulai menceritakan isi hatiku pada suami tercintaku 🤭. Ridson sedikit kaget sebenarnya karena selama ini dia melihat diriku baik-baik saja dan tegar aja gitu, trus tiba-tiba aku nangis aja gitu pas ceritain. Di sana baru aku mulai sadar kalau pribadiku hilang. Rasanya diriku ga ada lagi, terganti menjadi seorang ibu. Bukannya aku ga bangga ya, tetapi menurutku kita pun harus tetap punya diri kita sendiri selain menjadi seorang ibu. Setelah hari itu, kami berdua mulai mengatur kehidupan kami lagi. Kata-kata yang duluan kami anggap biasa… Ternyata berdampak luar biasa… Kata-katanya seperti…. “Masak sesuai lidah anak-anak aja….” , “makan di tempat yang anak-anak bisa makan aja” dan “udahlah biarin anak-anak aja yang nonton…” Mindset yang perlu kami ubah.

Hal yang pertama kuubah itu terlalu tergesa-gesa untuk ‘memperbaiki’ Nico dan Ryan, karena setiap waktu kuhabiskan untuk terapi agar mereka bisa menjadi ‘normal’. Ada ambisi dalam diriku untuk membuktikan entah pada siapa kalau anak-anakku bisa seperti anak-anak lain. Yang kemudian sekarang baru aku sadari kalau mereka sebenarnya normal-normal aja, mereka hanya terlambat, itu saja. Malahan, ketika pola pikirku berubah aku baru sadar… Yang dulunya aku selalu merasa anakku ga berkembang, ga ada kemajuan, ga seperti anak-anak normal lainnya, ternyata mereka berkembang dan bahkan sebenarnya perkembangannya pesat, hanya aku saja yang selalu tidak puas. Oleh karena itu, aku sekarang mulai lebih santai. Terapi tetap berjalan, tetapi tidak dalam waktu yang panjang seperti dulu… Aku membiarkan mereka menjadi diri mereka sendiri tanpa harus bersaing dengan orang lain.

Kemudian, hal berikutnya yang aku ubah adalah pembagian waktu. Ketika aku berpikir anakku akan kecewa ternyata tidak juga. Ketika aku menjelaskan pada Nico kalau jam segini adalah waktumu menonton film favoritmu, tetapi jam segini adalah waktunya mama untuk juga menonton film mama dan ternyata disambut dengan sangat baik oleh Nico, bahkan belakangan ini Nico suka nanyain, “mama sekarang mau nonton film apa? Nico bisa ikut nonton?” Yah karena gue nontonnya 9-1-1 ato Bones doang gitu ya udah aku ajakin aja nonton… Ga ada adegan berbahaya 17+ lahhh… 😆. Entah mengapa dulu aku mengkhawatirkan hal itu… Mungkin aku hanya ibu baru yang belum mengerti anaknya.

Hal-hal kecil kemudian menyusul, semisal aku mulai aktif merajut… Aku mulai rajin melihat resep masakan dewasa, semisal rica-rica dan woku… Atau se-simple goreng telor dadar satu pake cabe satunya ngga. Hal-hal yang dulu tidak kusadari ternyata berdampak besar bagi kesehatan mentalku. Dan ternyata aku pun mengajarkan anak-anakku untuk tidak egois. Mereka sekarang tau, kalau ada waktunya mama menjadi Yulianti kembali, ga cuma jadi mama Nico dan Ryan… Ada saatnya mamanya menonton V6 dan berlagak seperti anak remaja dimabuk cinta… Ada saatnya juga mamanya asik merajut dan kedua anak itu sibuk menggulung benang rajutanku yang malah bikin kusut. Mereka menghargai itu lho… Tanpa sadar aku menciptakan anak-anak yang bisa menghargai orang lain… Apa gak bangga tuh?

Perubahan signifikan di tahun ini, selain tentunya aku pindah (lagi)… Adalah kesadaran diriku untuk mau mencintai diriku sendiri. Ada suatu masa dalam hidupku dimana aku merasa skincare itu gak penting-penting amat dan baju kaos dan celana pendek rumah adalah hal terbaik. Mungkin, apalagi semenjak pandemi kita-kita banyakan di rumah, jadinya emang kita itu males ya, cuma di rumah doang, ngapain cantik-cantik? Tapi suatu hari gue ngaca dan sadar kok gue jelek amat yak 😂. Beneran gue sampe ngakak… Astagaaaa kemane tuh gue dulu yang selalu mau menampilkan yang terbaik dalam diriku? Rambut aja ga terurus, mana muka kusam… Mana lagi pakaian asal-asalan. Aku berasa aku benar-benar menelantarkan diriku sendiri. Ih malu sama Tuhan… Gak mencintai diri sendiri ini…

Sempat di suatu masa, bahkan instagram gue aja isinya cuma foto anak-anak sama bapaknya… foto gue mah jarang… Sekarang aku mulai sering-sering selfie lah. Dikata pamer? Emang instagram bukan untuk pamer ya? Walau lu kata itu digunakan untuk menyimpan kenangan juga ya kan kalo emang ga mau dipamerkan bisa disimpan di HP aja kan ya? Ga perlu disimpan di instagram. Ya emang harusnya kita sadar, kita tampilin di instagram ya pasti buat pamerin ke orang-orang laaaaahhh… Ga usah munafik. Aku mah emang gitu orangnya, suka pamer 😂. Tapi aku merasa kalau mau melihat diriku itu ya bisa dilihat di instagram lah, mudah-mudahan juga nantinya ketika aku udah tiada, anak gue liat instagram gue bisa tau, oh ini ya ibu gue dari semenjak belom kawin, sampai udah kawin punya anak dan sampai tua itu kayak gini lho hidupnya… Yah mari kita doakan aja semoga instagram ini panjang umurnya ya… 🤭. Tapi intinya aku tuh mau menunjukkan kepada orang dan kelak anak-anakku, kalau ini lho diriku… Gini lho perjalanan hidupku yang penuh petualangan… dan semoga pada akhirnya, anak-anakku akan tersenyum ketika menyadari, aaah betapa bahagianya mama dengan hidupnya…. Aku juga harus seperti itu kelak.

Abis warnain rambut jadi pamer dulu yak

Childfree

Rasa-rasanya dua bulan belakangan banyak berseliweran di timeline social media-ku tentang pernikahan tanpa anak. Kebetulan punya teman yang juga memilih untuk menjalani pernikahan tanpa anak. Sebenarnya bukan hal baru sih, tapi juga bukan hal yang mudah diterima di Indonesia.

Dari dulu, mamaku selalu mendidik kami dengan ajaran menikah itu bertujuan untuk memiliki anak… Dan kemudian aku lanjutkan dengan, “kalau gitu ga usah nikah aja ya, wong aku ga suka anak-anak”. YES! Dulu…. DULU yah pemirsahhh… Aku ga suka anak-anak. Berasa anak-anak itu ganggu banget deh… Merusak kebebasan. Jangankan punya anak, menikah aja adalah hal yang perlu dipikirkan matang-matang karena aku orang yang ga suka diatur-atur. Mungkin banyak yang berpikir, mungkin papaku adalah orang yang otoriter, yang membuatku trauma? Oh thenthu tidak saudara saudari… Bapakku adalah orang yang paling woles dan paling cuek. Dia ga pernah mengatur-atur dan bahkan rasanya dia tuh lebih denger kata-kata anaknya daripada sebaliknya. Jadi kenapa dong ga suka anak-anak dan mikir tentang nikah? Gak tau juga… 😅

Tapi setelah tumbuh dewasa dan akhirnya udah pacaran dengan suami gue (maklum gue cuma pacaran sekali dan udah nikah juga ya sama dia juga…) Perasaan itu berubah, berasa pengen menghabiskan waktu dengan sang pujaan hati dan mulai berpikir untuk menikah (walaupun berpikirnya sampai 8 tahun baru sepakat untuk menikah). Tetapi sampai saat itupun pemikiran punya anak bukan hal prioritas dalam pemikiranku. Pengennya hanya nikah aja sama sang pacar… Abis itu ya udah kalo hamil ya wajar lah… wong udah nikah.

Kemudian pernikahan berjalan sebulan…dua bulan…setahun…dan kami tak kunjung dikaruniai anak. Setelah itulah aku mulai berpikir… Sebanyak apa aku menginginkan anak? Sepenting apa anak dalam hidupku? Jujur saat itu, saya bener-bener ga menemukan jawabannya. Ga ada bayangan aja. Tapi dalam perasaan masih blank itupun aku dan suami masih berusaha hamil. Ya wong sudah pakemnya tuh dalam pemikiranku kalo nikah itu ya selanjutnya punya anak. Se-simple itu.

Setelah 1 tahun 9 bulan menikah akhirnya kami dikaruniai anak… Dan 9 bulan kemudian Nico pun lahir. Barulah saat diriku menggendong bayi dalam dekapanku barulah aku sadar betapa aku sangat menginginkan seorang anak dalam hidupku. Betapa rasanya segala perasaan yang selama ini ga pernah kurasakan muncul bagaikan kembang api meledak-ledak di dalam diriku.

Jadi, kalau aku ditanya bagaimana pendapatku mengenai childfree marriage? Sah-sah saja sih. Setiap orang punya tujuan hidup masing-masing dan punya beban masing-masing. Kita sebagai orang luar tentu saja ga bisa menghakimi. Tetapi saya ga setuju kalau bilang anak itu beban dan merepotkan karena sesungguhnya ketika akhirnya kamu punya anak, segala sesuatu bisa kamu korbankan untuk anakmu… Tanpa mengharapkan balas jasa. Kita pun dulu adalah anak dari orang tua kita… Sakit banget yak kalau berasa kita ini ternyata beban orang tua kita 😅.

Intinya, jalani aja pilihan hidup masing-masing tanpa harus membandingkan dengan pilihan hidup orang lain. Toh juga pilihan masing-masing ya tanggung jawab masing-masing. Yang memilih childfree tetiba di penghujung usia menyesal ga punya anak ya konsekuensi… Yang memilih punya anak dan berasa kebebasan direnggut juga ya konsekuensi. Segala konsekuensi juga kan ditanggung sendiri-sendiri.

Kalau aku sendiri ditanya, apakah aku bisa menjalani childfree marriage? Jawabannya bisa ya dan bisa tidak. Jika bertanya pada diriku di usia 20 tahun ya mungkin saja… Apalagi kalau bertemu dengan pasangan yang juga mendukung hal itu ya bisa kejadian. Tetapi kalau bertanya kepada diriku yang sekarang yang sudah melewati aral rintangan bersama anak-anakku, tentu saja ga bisaaaaa…. Sepi banget sis tanpa anak-anakku yang super bawel dan lucu-lucu ini. Sayang banget kalo ga gue lahirin…. Mana cakep-cakep pulaaaa… 😆

Duo burung yang sangat lucu dan bawel

Saya harap tulisan ini tidak diartikan negatif oleh para pendukung childfree marriage karena sesungguhnya pendapatku cuma remah-remah rengginang… 🍪

Perasaan Apa Ini?

Aku tuh ya, ga tau juga sebenarnya perasaan apa yang sedang kurasakan… Rasanya sih berasa campur aduk aja gitu…

Awal kedatanganku ke Biak aja perasaan sudah campur aduk, antara excited, cemas, takut dan bahagia. Tapi itu wajar kan ya? Namanya baru pindah ke tempat baru… dan anehnya ga ada sedikit pun rasa sedih karena meninggalkan kampung halaman, mungkin juga karena sudah muak dan kecewa dengan keadaan yang lalu 😅. Rasanya ketika tiba di Biak, perasaan sesak yang selama di Makassar kurasakan menjadi kelegaan yang membahagiakan. Buktinya banyak orang yang bilang diriku lebih glowing ketika sudah berada di Biak 🤭.

Kemudian, beberapa bulan berlalu, segala hal yang dulunya tidak bisa kami raih akhirnya perlahan-lahan bisa dijangkau.. Perasaan khawatir berubah menjadi tenang… Perasaan rendah diri menjadi percaya diri… Rasa-rasanya sih, jalan ini udah bener nih… Nothing to complain.

Tetapi kemudian diriku yang kepo ini suka browsing social media. Sang racun yang berbahaya… Trus melihat orang-orang pada pindah rumah baru, makan enak, liburan, etc… etc… Trus tiba-tiba timbul perasaan ini… Mau dikata iri juga ngga… dikata pengen ya pengen sih.. Tapi ada beberapa yang memang belum bisa terlaksana… Misalkan pindah rumah baru, dengan segala keindahan dan dekor yang menarik… Tentu saja selama kami masih ngontrak di sini ga bakalan bisa terlaksana, rugi banget dong renovasi rumah orang, pasti pengennya rumah sendiri… Trus kalau ditanya mau beli rumah, ya pengen tapi ga sekarang dan mungkin ga di sini… Masih ada rencana ke depan yang belum bisa dibeberkan di sini… Ya kata suami tercinta…sabar aja lah, semuanya akan indah pada waktunya… Tapi ya jujurly gue tipikal yang suka menikmati saat ini, ga suka tunggu nanti-nanti 😅.

Kalau di permasalahan makanan enak sih sebenarnya ga terlalu ngaruh ya, kebanyakan makanan yang kusuka sih bisa dicari di sini atau paling ngga bisa dikirimin dari Makassar… Palingan semacam sushi gitu ya susah sih.. Tapi selama di Makassar juga ga tiap hari juga gue makan sushi…. 😆

Nah trus berikutnya tu liburan. Pengen banget sih liburan… Pengen banget juga ngapain kek gitu selain jaga toko.. Tapi trus mikir, di sini cuma ada pantai… Hadeh… Tau sendiri gue ciong berat ama pantai. Kemaren ke pantai aja gue pake pakaian lengkap dan “mandi” sunscreen. Kok ribet yak… Mau liburan ke luar Papua… Kayaknya masih terlalu dini… wong baru tiba di sini baru 5 bulan lalu. Trus kata suami juga, “sabar neng, napas dulu napeeeee…”

Mau dikata ga senang di sini juga ngga, soalnya segala keinginan dipenuhi ama suami, naikin level skincare adalah salah satu contohnya… Pengen ngubah gaya rambut ato beli baju online juga oke. Makan juga ga ditahan-tahan. Malah barusan suami mesen pete 2 kilo dong dari Makassar gegara tau istrinya doyan pete… Walau pete ada sih dijual di sini, tapi promo pete yang ditawarkan temen cukup menggiurkan 🤭.

Kalo dikata bosan juga ga juga sih… Lha wong ga di Biak, ga di Makassar juga kerjanya sama aja… Malah di sini tuh udah lebih “longgar” mau nonton Netflix dari pagi sampai malam pun monggo…. Makanya kadang gue pikir, nikmat Tuhan apa yang engkau dustakan, kakakkkkk…. Udah ga mikir masalah keuangan, udah ga mikir masalah kerjaan suami yang penuh tantangan… Ga mikir juga masalah sekolah anak…

Trus kalau diriku bahagia-bahagia aja, trus perasaan apa dong ini?

Emang ya, manusia ga pernah puas….. 😑

Foto pantai Bosnik yang ada di Biak.. Cakep yak… Deket rumah pula.

Self Reminder

sometimes bullying comes in disguise of a friend

“Aaah… Si A sensi tuuuh….” , “ga asik ah berteman dengan si B” , “kan kita cuma bercanda doang…”

Pernah ga denger atau bahkan ngomong hal seperti itu? Aku lho pernah….pernah jadi pelaku dan jadi korban. Padahal kita sendiri ga sadar kalau perkataan kita bisa menyakiti hati orang lain, apalagi temen sendiri… Kadang kita itu ngomong ga di saring dulu… Makanya kan ada ungkapan, “think before you speak” . Pas jadi korban aja baru sadar kalau ga enak digituin.

Kadang-kadang candaan berlebihan atau bahkan memang benar-benar sebuah bully-an suka dibalut dengan kata-kata, “hanya bercanda” atau istilah kerennya itu “just kidding”. Kadang kita sebagai pihak pelaku ga sadar kalau kata-kata kita bisa menyakiti orang lain dan ketika orang lain speak up kita bersembunyi di balik kata-kata, “ah, sensi amat, kita kan cuma bercanda”. Ketika kemudian kita tau kalau orang atau teman itu orangnya baperan, trus kita menghakimi lagi dengan mengatakan, “wah, ga asik tuh bergaul sama orang gitu”. Padahal kita sendiri ga sadar, mungkin mereka juga ga suka sama kita.

Sebagai korban pun kadang-kadang diam aja, karena merasa takut dibilangin baperan… Takut juga dibilang ga asik, sensi… Gitu aja kok ribet… Padahal sebenarnya kita bisa memilih untuk menjauhi orang-orang seperti itu. Biasanya sang korban takut kehilangan teman… Yang membuat sang pelaku berada di atas angin. Padahal sejatinya kalau emang ga senang ya ngomong aja… Tapi yah mungkin juga ada budaya Indonesia yang “gak enakan”, “gak mau ribut” yang membuat kita segan untuk speak up. Aku pernah kok di posisi seperi itu. Ngerti banget perasaannya gimana…

Kadang kita juga sebenarnya bulan bermaksud mau menyakiti hati orang lain, memang kadang kadar sensitif tiap orang berbeda-beda. Bagi saya, hinaan fisik yang berhubungan dengan gigi misalnya membuatku sedikit sensi… sedangkan ketika saya menceritakannya kepada teman saya, bagi mereka itu hal yang biasa saja. Jadi bertolak dari pengalaman itu saya pun mulai berusaha menjaga lisan kepada orang lain. Karena kita pada dasarnya tidak tau apa yang bisa menyinggung orang lain. Yah walaupun saya pun masih belajar…

Apakah artinya kita ga boleh berteman dengan orang-orang baper atau orang ceplas ceplos? Ya boleh-boleh aja asal kita saling menghargai dan mengerti. Jika pada akhirnya kita merasa udah ga nyaman dengan pertemanan tersebut… Mungkin sebaiknya kita mulai memikirkan untuk mencari teman yang baru…

After All This Time…

Hidup kadang membawa kita ke tempat yang tak terduga… Atau dalam keadaanku sekarang, kembali ke tempat terakhir yang ingin kudatangi.

Tetapi hidup juga lucu, karena tempat yang sebenarnya membuat kami tidak betah dan ingin pulang, malah sekarang menjadi tempat yang nyaman dan aman.

Dimulai dari bulan Januari… Ridson tiba-tiba mengutarakan keinginannya untuk mencari usaha lain. Menurutnya, pekerjaanya sebagai jasa service dan cuci AC tidak cukup untuk ditabung. Untuk hidup, sekolah dan cicilan mobil sih cukup, tetapi tidak lebih dari itu. Tetapi pembicaraan itu kemudian hilang begitu saja. Rasanya kami berdua masih tidak menemukan jalan keluar yang pas.

Pembicaraan itu kembali ada ketika Ridson mengalami kecelakaan kerja… Kaki kanannya tertusuk mata bor ketika bekerja. Membuatnya tidak bisa bekerja selama beberapa hari. Sebenarnya sebelumnya sudah ada kejadian yang serupa yaitu kaki kirinya tergores dalam oleh pipa besi berkarat yang menyebabkan dia harus mendapat 10 jahitan. Kedua kecelakaan itu membuatnya tidak bisa bekerja… Dan ketika kecelakaan kedua terjadi kami sedang dalam masa pandemi lanjutan dimana keadaan keuangan pun lebih ketat daripada sebelumnya. Akhirnya tidak sampai seminggu beristirahat, Ridson sudah memaksakan diri untuk pergi bekerja… Bahkan untuk berjalan saja dia masih terpincang-pincang.

Saya? Di rumah dengan keadaan seperti itu membuatku merasa bersalah. Merasa bersalah karena tidak bisa membantu. Beberapa pemikiran terbersit… Andaikan aku bekerja… Andaikan aku bisa melakukan sesuatu… Andaikan… andaikan… Tetapi setiap ide itu kulontarkan Ridson hanya menjawab, “aku butuh kamu untuk mendidik anak-anak kita dengan baik. Biarkan masalah keuangan, saya yang bertanggung jawab”

Sedih lho mendengar hal seperti itu… Di satu sisi berasa diriku gak guna… Di sisi lain, saya juga ga bisa begitu saja meninggalkan anak-anak untuk pergi bekerja. Hal itu menyebabkan pemikiran untuk mencari usaha lain menjadi lebih menggebu-gebu, selain karena ingin mencari usaha yang lebih baik, juga ingin mencari usaha yang bisa kami berdua lakukan… Ketika salah satu dari kami sakit atau bahkan sampai tiada… Yang lain masih bisa mencari uang demi kedua anak kami.

Kemudian ide untuk menjual rumah pun muncul. Karena terus terang untuk modal pun kami tak punya, hanya rumah satu-satunya harta kami saat itu… Dan beberapa emas yang tak ingin Ridson sentuh saat itu. Ternyata menjual rumah juga tak semudah itu… Banyak yang bertanya, menawar bahkan sudah deal tetapi batal. Alasannya? Banyak dan beragam. Kami pun mulai menyerah dan putus harapan. Rasa-rasanya kami akan stuck dalam keadaan begini dalam beberapa waktu.

Buka usaha dimana?
Nah, di sinilah letak kisah ini berawal…
Awalnya kami ingin ke Waingapu, kota kelahiran papaku yang sekarang katanya masih berkembang. Ridson pun cukup yakin untuk mau ke sana duluan untuk cek lokasi, tetapi terhalang oleh permintaan saudara papaku untuk dikarantina selama 14 hari. Tentu hal itu cukup lama bagi Ridson yang tidak punya banyak waktu.
Pada saat itu, saya masih terus-terus doa Novena meminta jalan keluar dan petunjuk mengenai apa yang harus kami lakukan.
Tiba-tiba sebuah suara, entah ide atau alam bawah sadarku, berbisik padaku… “Mengapa tidak mencoba kembali ke Biak?”
Aku tercengang… That’s the last thing I want to think about…
Entah mengapa, pembicaraan tentang Biak ini sudah pernah beberapa kali muncul dalam beberapa tahun ini, tetapi kami akhirnya tetap merasa tidak ingin kembali ke sana. Dengan berbagai alasan.
Tetapi kali ini, aku berpikir, apakah hal-hal yang kemarin kami cemaskan masih berlaku sampai sekarang? Aku mulai memilah masalah demi masalah… Masing-masing pun, ada yang memang tidak dapat dirubah dan ada yang sudah ada jalan keluarnya…

Akhirnya, suatu hari di bulan April… Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 1 tengah malam dan Ridson sedang meminum botol birnya yang kedua, aku melontarkan ide itu. Ridson hanya tertawa dan menganggapku bercanda. Tetapi kemudian dia terdiam dan serius memikirkannya. Saat itu, saya pun masih ragu… Tidak tau apakah ide yang kulontarkan itu sudah benar atau tidak. Jangan sampai kami salah jalan! Ada dua nyawa yang masa depannya bergantung pada kami!
Malam hari itu, aku kembali berdoa… Menyerahkan semua ke tangan sang pemberi hidup.

Hidup memang sungguh penuh hal-hal tak terduga…

Pagi itu, ketika Ridson menelepon sepupunya di Biak, dengan santainya sepupunya mengatakan kalau dia punya 1 tempat kosong, yang lokasinya hanya berbeda 2 rumah dari kontrakan kami sebelumnya… Tetapi Ridson tidak langsung menyanggupi, dia masih ragu dan masih mencoba untuk berpikir lebih jauh… Tidak lama kemudian terjadi bencana di Waingapu… Banjir bandang menyapu beberapa tempat di daerah itu… Banyak orang kesusahan… Apalagi terjadi dalam masa pandemi seperti ini… Hilang sudah harapan kami untuk ke Waingapu… Dan membuat rencana ke Biak akhirnya menjadi lebih besar… Walau saat itu pun, kami berdua masih 50% yakin.

Setelah itu kami mencoba memasarkan rumah kami untuk di kontrakkan, pada saat itu juga kami mencoba meminta bantuan modal dari sepupu Ridson yang lain dengan perjanjian akan dikembalikan sedikit demi sedikit. Terus terang modal yang kami butuhkan untuk ke Biak memang jauh lebih sedikit dari ke Waingapu. Kemudian Ridson mulai mengurangi kerjaannya dan mulai mengurus penjualan mobil. Percaya atau tidak… Hal itu semua selesai hanya dalam 1 bulan.

Rumah kami dikontrakkan… Modal dipinjamkan… Mobil terjual… Barang-barang rumah tangga yang perlu terjual pun sudah terjual… Bahkan pengiriman barang ke Biak pun mendapatkan kemudahan. Semua terjadi dalam waktu 1 bulan dan saat itulah kami yakin 100% akan kembali ke Biak dan saya yakin 100% itu adalah jawaban dari doaku pada Tuhan.

Di bulan Juni akhirnya kami berangkat… Dengan segala keribetannya dan cibiran dari orang-orang sekitar… Kami pun tiba di Biak. Kota yang penuh kenangan ini. Jujur banyak orang yang meragukan kepindahan kami… Ada yang mengatakan kami terlalu berani mengambil resiko… Di saat orang lain sedang berusaha mempertahankan usahanya kami memilih untuk kembali dari nol. Ada juga yang meragukan apakah kami bisa survive dalam keadaan pandemi seperti ini… Bahkan ada yang berpikir kami gila bepergian di saat hal-hal sedang memburuk. Tetapi semuanya kami bawa dalam doa… Berdoa kepada sang pemberi ide.

Akhirnya, setelah hampir 3 bulan di Biak… Ternyata… Kami sangat sangat betah dan bahagia… Kepindahan kami di sini ternyata tidak seperti yang diprediksi orang-orang. Memang awal kami tiba, kami benar-benar single fighter….or should I say double? Bahkan lemari pakaian dan rak toko kami rakit sendiri… Belum lagi membersihkan rumah dan mengatur barang-barang di toko… Bahkan deadline kami untuk buka toko pun kami undur karena kami sangat kelelahan. Tetapi semuanya sepadan…. Dari hari pertama kami buka toko, bahkan sehari sebelumnya, sudah ada pembeli yang langsung membeli dalam jumlah banyak… Kemudian setiap hari pun puji Tuhan pembeli selalu ada… Bahkan langganan-langganan kami yang lalu pun semuanya kembali.

Hal yang paling kami syukuri adalah ketika kami sudah berada di Biak kami dengar bahwa di Makassar diberlakukan PPKM karena jumlah positif covid-19 terus bertambah. Jika kami masih di Makassar saat ini mungkin kami akan berasa pada posisi yang sulit dalam mencari nafkah. Selain itu juga, Nico dan Ryan akhirnya saya sekolahkan secara daring di Sekolah Murid Merdeka. Karena sekolah di Biak sudah memberlakukan tatap muka selama 2 kali seminggu dan saya masih ragu dan belum siap untuk menyekolahkan Nico secara tatap muka…

Selain dari hal-hal di atas, banyak hal yang sangat kusyukuri ketika kembali ke Biak… Entah mengapa sepertinya saya mendapatkan kehidupanku kembali di sini… Walaupun malaria dan pendidikan masih bermasalah tetapi satu dan lain hal kami sudah menemukan jalan keluarnya… Perlahan-lahan pun aku mulai menerima segala kekurangan yang ada di sini dan bersyukur masih bisa kembali ke sini lagi.

Harapanku di masa depan… Semoga pandemi ini bisa segera berakhir… Dan semoga kita semua selalu berbahagia…
Amin…
PS : doain saya semoga bisa lebih rajin nge-blog yaaa…. 😁