After All This Time…

Hidup kadang membawa kita ke tempat yang tak terduga… Atau dalam keadaanku sekarang, kembali ke tempat terakhir yang ingin kudatangi.

Tetapi hidup juga lucu, karena tempat yang sebenarnya membuat kami tidak betah dan ingin pulang, malah sekarang menjadi tempat yang nyaman dan aman.

Dimulai dari bulan Januari… Ridson tiba-tiba mengutarakan keinginannya untuk mencari usaha lain. Menurutnya, pekerjaanya sebagai jasa service dan cuci AC tidak cukup untuk ditabung. Untuk hidup, sekolah dan cicilan mobil sih cukup, tetapi tidak lebih dari itu. Tetapi pembicaraan itu kemudian hilang begitu saja. Rasanya kami berdua masih tidak menemukan jalan keluar yang pas.

Pembicaraan itu kembali ada ketika Ridson mengalami kecelakaan kerja… Kaki kanannya tertusuk mata bor ketika bekerja. Membuatnya tidak bisa bekerja selama beberapa hari. Sebenarnya sebelumnya sudah ada kejadian yang serupa yaitu kaki kirinya tergores dalam oleh pipa besi berkarat yang menyebabkan dia harus mendapat 10 jahitan. Kedua kecelakaan itu membuatnya tidak bisa bekerja… Dan ketika kecelakaan kedua terjadi kami sedang dalam masa pandemi lanjutan dimana keadaan keuangan pun lebih ketat daripada sebelumnya. Akhirnya tidak sampai seminggu beristirahat, Ridson sudah memaksakan diri untuk pergi bekerja… Bahkan untuk berjalan saja dia masih terpincang-pincang.

Saya? Di rumah dengan keadaan seperti itu membuatku merasa bersalah. Merasa bersalah karena tidak bisa membantu. Beberapa pemikiran terbersit… Andaikan aku bekerja… Andaikan aku bisa melakukan sesuatu… Andaikan… andaikan… Tetapi setiap ide itu kulontarkan Ridson hanya menjawab, “aku butuh kamu untuk mendidik anak-anak kita dengan baik. Biarkan masalah keuangan, saya yang bertanggung jawab”

Sedih lho mendengar hal seperti itu… Di satu sisi berasa diriku gak guna… Di sisi lain, saya juga ga bisa begitu saja meninggalkan anak-anak untuk pergi bekerja. Hal itu menyebabkan pemikiran untuk mencari usaha lain menjadi lebih menggebu-gebu, selain karena ingin mencari usaha yang lebih baik, juga ingin mencari usaha yang bisa kami berdua lakukan… Ketika salah satu dari kami sakit atau bahkan sampai tiada… Yang lain masih bisa mencari uang demi kedua anak kami.

Kemudian ide untuk menjual rumah pun muncul. Karena terus terang untuk modal pun kami tak punya, hanya rumah satu-satunya harta kami saat itu… Dan beberapa emas yang tak ingin Ridson sentuh saat itu. Ternyata menjual rumah juga tak semudah itu… Banyak yang bertanya, menawar bahkan sudah deal tetapi batal. Alasannya? Banyak dan beragam. Kami pun mulai menyerah dan putus harapan. Rasa-rasanya kami akan stuck dalam keadaan begini dalam beberapa waktu.

Buka usaha dimana?
Nah, di sinilah letak kisah ini berawal…
Awalnya kami ingin ke Waingapu, kota kelahiran papaku yang sekarang katanya masih berkembang. Ridson pun cukup yakin untuk mau ke sana duluan untuk cek lokasi, tetapi terhalang oleh permintaan saudara papaku untuk dikarantina selama 14 hari. Tentu hal itu cukup lama bagi Ridson yang tidak punya banyak waktu.
Pada saat itu, saya masih terus-terus doa Novena meminta jalan keluar dan petunjuk mengenai apa yang harus kami lakukan.
Tiba-tiba sebuah suara, entah ide atau alam bawah sadarku, berbisik padaku… “Mengapa tidak mencoba kembali ke Biak?”
Aku tercengang… That’s the last thing I want to think about…
Entah mengapa, pembicaraan tentang Biak ini sudah pernah beberapa kali muncul dalam beberapa tahun ini, tetapi kami akhirnya tetap merasa tidak ingin kembali ke sana. Dengan berbagai alasan.
Tetapi kali ini, aku berpikir, apakah hal-hal yang kemarin kami cemaskan masih berlaku sampai sekarang? Aku mulai memilah masalah demi masalah… Masing-masing pun, ada yang memang tidak dapat dirubah dan ada yang sudah ada jalan keluarnya…

Akhirnya, suatu hari di bulan April… Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 1 tengah malam dan Ridson sedang meminum botol birnya yang kedua, aku melontarkan ide itu. Ridson hanya tertawa dan menganggapku bercanda. Tetapi kemudian dia terdiam dan serius memikirkannya. Saat itu, saya pun masih ragu… Tidak tau apakah ide yang kulontarkan itu sudah benar atau tidak. Jangan sampai kami salah jalan! Ada dua nyawa yang masa depannya bergantung pada kami!
Malam hari itu, aku kembali berdoa… Menyerahkan semua ke tangan sang pemberi hidup.

Hidup memang sungguh penuh hal-hal tak terduga…

Pagi itu, ketika Ridson menelepon sepupunya di Biak, dengan santainya sepupunya mengatakan kalau dia punya 1 tempat kosong, yang lokasinya hanya berbeda 2 rumah dari kontrakan kami sebelumnya… Tetapi Ridson tidak langsung menyanggupi, dia masih ragu dan masih mencoba untuk berpikir lebih jauh… Tidak lama kemudian terjadi bencana di Waingapu… Banjir bandang menyapu beberapa tempat di daerah itu… Banyak orang kesusahan… Apalagi terjadi dalam masa pandemi seperti ini… Hilang sudah harapan kami untuk ke Waingapu… Dan membuat rencana ke Biak akhirnya menjadi lebih besar… Walau saat itu pun, kami berdua masih 50% yakin.

Setelah itu kami mencoba memasarkan rumah kami untuk di kontrakkan, pada saat itu juga kami mencoba meminta bantuan modal dari sepupu Ridson yang lain dengan perjanjian akan dikembalikan sedikit demi sedikit. Terus terang modal yang kami butuhkan untuk ke Biak memang jauh lebih sedikit dari ke Waingapu. Kemudian Ridson mulai mengurangi kerjaannya dan mulai mengurus penjualan mobil. Percaya atau tidak… Hal itu semua selesai hanya dalam 1 bulan.

Rumah kami dikontrakkan… Modal dipinjamkan… Mobil terjual… Barang-barang rumah tangga yang perlu terjual pun sudah terjual… Bahkan pengiriman barang ke Biak pun mendapatkan kemudahan. Semua terjadi dalam waktu 1 bulan dan saat itulah kami yakin 100% akan kembali ke Biak dan saya yakin 100% itu adalah jawaban dari doaku pada Tuhan.

Di bulan Juni akhirnya kami berangkat… Dengan segala keribetannya dan cibiran dari orang-orang sekitar… Kami pun tiba di Biak. Kota yang penuh kenangan ini. Jujur banyak orang yang meragukan kepindahan kami… Ada yang mengatakan kami terlalu berani mengambil resiko… Di saat orang lain sedang berusaha mempertahankan usahanya kami memilih untuk kembali dari nol. Ada juga yang meragukan apakah kami bisa survive dalam keadaan pandemi seperti ini… Bahkan ada yang berpikir kami gila bepergian di saat hal-hal sedang memburuk. Tetapi semuanya kami bawa dalam doa… Berdoa kepada sang pemberi ide.

Akhirnya, setelah hampir 3 bulan di Biak… Ternyata… Kami sangat sangat betah dan bahagia… Kepindahan kami di sini ternyata tidak seperti yang diprediksi orang-orang. Memang awal kami tiba, kami benar-benar single fighter….or should I say double? Bahkan lemari pakaian dan rak toko kami rakit sendiri… Belum lagi membersihkan rumah dan mengatur barang-barang di toko… Bahkan deadline kami untuk buka toko pun kami undur karena kami sangat kelelahan. Tetapi semuanya sepadan…. Dari hari pertama kami buka toko, bahkan sehari sebelumnya, sudah ada pembeli yang langsung membeli dalam jumlah banyak… Kemudian setiap hari pun puji Tuhan pembeli selalu ada… Bahkan langganan-langganan kami yang lalu pun semuanya kembali.

Hal yang paling kami syukuri adalah ketika kami sudah berada di Biak kami dengar bahwa di Makassar diberlakukan PPKM karena jumlah positif covid-19 terus bertambah. Jika kami masih di Makassar saat ini mungkin kami akan berasa pada posisi yang sulit dalam mencari nafkah. Selain itu juga, Nico dan Ryan akhirnya saya sekolahkan secara daring di Sekolah Murid Merdeka. Karena sekolah di Biak sudah memberlakukan tatap muka selama 2 kali seminggu dan saya masih ragu dan belum siap untuk menyekolahkan Nico secara tatap muka…

Selain dari hal-hal di atas, banyak hal yang sangat kusyukuri ketika kembali ke Biak… Entah mengapa sepertinya saya mendapatkan kehidupanku kembali di sini… Walaupun malaria dan pendidikan masih bermasalah tetapi satu dan lain hal kami sudah menemukan jalan keluarnya… Perlahan-lahan pun aku mulai menerima segala kekurangan yang ada di sini dan bersyukur masih bisa kembali ke sini lagi.

Harapanku di masa depan… Semoga pandemi ini bisa segera berakhir… Dan semoga kita semua selalu berbahagia…
Amin…
PS : doain saya semoga bisa lebih rajin nge-blog yaaa…. 😁

2 thoughts on “After All This Time…

Leave a comment